Mengubur Perselisihan Dan Menanam Perdamaian
REKONSILIASI berbicara tentang menyatukan komunitas yang terceraikan oleh
perebutan materi dan kehormatan, perbedaan pemahaman atau kurangnya pendekatan
dengan tidak mengungkit-ungkit pihak yang benar dan pihak yang salah. Pengakuan
bahwa ada suatu kesalahan, namun kedua belah pihak ikhlas menjadikanya
terlupakan dan secara tuntas disepakati selesai. Pihak yang lebih kuat berani melepas atau mengurangi bagian
kekuasaannya dan sebaliknya pihak yang kalah atau lemah diperkuat keberadaannya dengan mengangkat
kembali rasa percaya dirinya dan bukan sebagai “si kalah yang direndahkan”.
Tidak ada lagi sekat menang dan kalah atau kuat dan lemah, kedua belah pihak
menyatu kembali dan sepakat sebagai pihak yang berdiri sama tinggi secara arif
menganggap permasalahan selesai.
Kondisi seperti ini terwujud
apabila ada niatan yang tulus dari masing-masing individu atau kelompok yang
berhadapan. Proses ini melahirkan senyawa-senyawa baru dalam hubungan
perusahaan dan masyarakat yang tidak lagi mempersoalkan konflik dan
kesalahpahaman di masa lalu. Tidak sesederhana dan semudah kita mengucapkannya
karena memulai sebuah rekonsiliasi tidak cukup dilakukan hanya dengan tutur
yang manis. Rekonsiliasi harus disertai oleh perubahan pola pandang dan
perilaku dari dan terhadap
setiap pihak yang berseteru sehingga tuntas membentuk silaturahmi yang
benar-benar baru yakni pendamaian.
KONFLIK DAN
PANDANGAN HUKUM MENGENAI GANTI RUGI DAN PEMBEBASAN LAHAN
Berawal dari aksi demonstrasi masyarakat
Lung Melah pada tanggal 27 Agustus 2012 yang menduduki kantor besar dan menutup
operasi kebun selama tiga hari. Masyarakat menuntut kejelasan mengenai proses
pembukaan lahan PT Subur Abadi Plantations yang dipandang tidak prosedural dan
tidak mengganti rugi pembebasan lahannya dengan Tali Asih. Masyarakat Lung
Melah masih memiliki keraguan dan kebingungan antara Tali Asih, Ganti Rugi, dan
Pembebasan Lahan. Masyarakat merasa perusahaan belum pernah memberikan Tali Asih
pembebasan lahan kepada masyarakat. Sementara ada salah satu perusahaan
perkebunan yang saat ini beroperasi di Lung Melah memberikan Tali Asih 1 juta
per Hectare kepada pemilik lahan yang
digusur ladangnya. Di sisi lain, PT Subur Abadi Plantations telah secara taat
mengikuti semua tuntunan regulasi dan secara hukum positif tidak terbebani oleh
seluruh tuntutan masyarakat yang ada.
Pembebasan Lahan hanya dilaksanakan bila dalam pembukaan lahan
perkebunan harus menggusur lahan yang secara hak dimiliki oleh masyarakat
sebagai HAK MILIK atau HAK MENGGARAP yang diakui secara hukum nasional atau
hukum adat. Hal ini diatur dalam Pasal 1 Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor
15 Tahun 1975 Tentang Ketentuan-Ketentuan Mengenai Tata Cara yang berbunyi :
“Yang
dimaksud dengan Pembebasan tanah ialah melepaskan hubungan hukum yang semula terdapat di
antara pemegang hak/penguasa atas tanahnya dengan cara memberikan ganti rugi”
Jadi,
pihak-pihak yang sebelumnya menjadi pemegang hak atas tanah melepaskan hak atas
tanahnya tersebut. Tanah tersebut kemudian kembali menjadi tanah yang dikuasai
oleh Negara, untuk selanjutnya di atasnya diberikan hak atas tanah kepada
perusahaan tertentu. Apabila perusahaan memang telah memperoleh hak atas tanah,
maka perusahaan tersebut berhak atas tanah yang dimaksud. Lahan yang dibuka
oleh PT Subur Abadi Plantations berupa hutan dan bukan ladang masyarakat
sehingga tidak ada “hukum yang semula”
yang harus dilepaskan. Melalui konteks pemahaman ketentuan di atas PT Subur
Abadi Plantations tidak memiliki kewajiban membayar Pembebasan Lahan karena
lahan yang dibuka tidak memiliki subjek hukum “penguasa” sebelumnya menurut
hukum positif sehingga dapat diterbitkan HGU di atasnya. Saat pembukaan juga
sudah dilaksanakan sosialisasi dan terdapat dokumen kesepakatan bahwa PT Subur
Abadi Plantations sudah direstui dan diijinkan untuk beroperasi oleh seluruh
perangkat desa dan adat. Tidak ada tanaman-tanaman keras terpelihara yang
ditebang sehingga tidak perlu dilakukan Ganti Rugi Tanam Tumbuh dan ini
diperkuat oleh pernyataan Kepala Desa yang tertuang dalam surat pernyataan
bahwa dalam pembukaanya PT Subur Abadi Plantatations terbebas dari tuntutan
pembebasan lahan dan ganti rugi dalam bentuk apapun yang ditandatangai bersama
dengan seluruh pemangku adat dan pengurus desa.
Sementara Ganti Rugi Tanam Tumbuh dilakukan jika dalam
pembukaan lahan perkebunan ada penebangan atau penggusuran tanaman keras yang
ditanam, dipelihara, dan dituai oleh masyarakat sebagai pendapatan atau
konsumsi sehari-hari. Perusahaan harus memberikan ganti rugi yang pelaksanaannya
harus diatur sesuai ketentuan yang ada dan biasanya berupa Peraturan Daerah
atau Peraturan Bupati.
EXISTENSI LAHAN
PERUSAHAAN DALAM KAITAN HUKUM ADAT
Masyarakat melalui TIM ADAT Desa Lung
Melah berpendapat bahwa hutan yang dibuka oleh perusahaan adalah hutan adat,
dan sejak dibangunya perusahaan kebiasaan masyarakat memelihara hutan dan
mengambil manfaatnya hilang. Pandangan hutan adat dalam khasanah pola pandang
masyarakat Lung Melah berbenturan dengan konsep penguasaan hutan menurut
regulasi Negara. PT Subur Abadi Plantations berdiri pada dua alam hukum yang sekalipun
bertolak belakang keduanya harus dijunjung tinggi. Hukum (positif) Negara
sebagai landasan dan pijakan dalam beroperasi kadangkala memiliki benturan
dengan Hukum Adat di mana tanah diinjak dan langit dijunjung.
Menyikapi hal ini, harus didepankan
kearifan dan kebijaksanaan mengingat yang dihadapi adalah benturan antara hukum
positif dan hukum adat. Penjelasan secara benar mengenai konsep adat maupun
hukum positif harus diangkat dengan sangat bijak sebagai gambaran yang harus
dipegang perusahaan terkait persoalan lahan adat. Pasal 5 Undang-undang Pokok
Agraria menyatakan bahwa :
“Hukum agraria
yang berlaku atas bumi air dan ruang angkasa ialah hukum adat, sepanjang tidak
bertentangan dengan kepentingan nasional dan Negara, yang berdasarkan atas
persatuan bangsa, dengan sosialisme Indonesia serta dengan peraturan-peraturan
yang tercantum dalam Undang-undang ini dan dengan peraturan perundangan
lainnya, segala sesuatu dengan mengindahkan unsur-unsur yang bersandar pada
hukum agama.”
Budi Harsono dalam bukunya yang berjudul Hukum
Agraria Indonesia, Sejarah Pembentukan Undang-undang Pokok Agraria, Isi dan
Pelaksanaanya, menyebutkan bahwa sepanjang Hukum Adat itu sejalan
dengan hukum nasional, maka hukum tersebut harus dilaksanakan. Namun ada
titik-titik tertentu dimana Budi Harsono merasa ragu kalau Hukum Adat akan
mampu dijadikan acuan tetap. Dalam halaman 180 Budi Harsono mengungkapkan bahwa
Hukum Adat digunakan sebagai pelengkap hukum yang tertulis, norma-norma Hukum
Adat menurut pasal 5 UUPA juga akan mengalami pemurnian atau “Saneering”
dari unsur-unsur yang tidak asli. Dalam pembentukan Hukum Tanah Nasional yang akan
digunakan sebagai bahan utama hanyalah konsepsi dan asas-asanya, bahkan
penjelasan pasal 16 UUPA menyatakan Hukum Adat tersebut bersifat sementara.
Dengan diundangkannya
Undang-Undang Pokok Agraria (UUPA) secara resmi memang telah banyak menggeser
kedudukan hukum adat. Meskipun dalam pasal 5 UUPA dicantumkan bahwa pembangunan
Hukum Agraria Nasional berdasarkan Hukum Adat, namun dalam pelaksanaannya tidak
boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan ini dan peraturan
perundangan lainnya yang lebih tinggi. “Hukum Adat masih bisa berlaku selama
tidak bertentangan dengan hukum tertulis” Penjelasan Prof. Dr. Ir. Keppi
Sukesi, MS yang selain sebagai dosen perundang-undangan beliau juga aktif di
Lembaga Pengabdian Masyarakat Universitas Brawijaya. Dari hal ini tampak bahwa
memang Hukum Adat pemberlakuanya dibatasi oleh adanya hukum Negara.
Hal senada juga
diungkapkan oleh Ahmad Sodiki dosen Fakultas hukum Universitas Brawijaya dalam tulisanya yang berjudul Hak
Ulayat Perlukah Dipertahankan, yang mengungkapkan bahwa konflik antara Hukum
Negara (state-law) dan Hukum Adat (folk-law) menunjukkan hukum adat
banyak diabaikan. Hal ini telah membawa ketidakpuasan yang mendalam, meluas dan
mengakibatkan gejolak masyarakat yang berbau kesukuan (SARA). Hak ulayat yang
realitanya masih tetap ada, seharusnya ditegaskan dalam suatu ketentuan
tertulis, sehingga jelas dimana dan bagaimana kedudukan dan hubungan dengan
tatanan hukum nasional. Hal ini untuk memudahkan pemecahan jika timbul
perselisihan akibat masih diakuinya hak ulayat dalam berbagai
perundang-undangan. Ketentuan tertulis
tersebut dapat menjadi acuan konkret yang menjamin rasa keadilan dan
perlindungan masyarakat setempat sebagai bagian tak terpisahkan dari masyarakat
Indonesia. Memang selama ini masyarakat kita tidak bisa
dipisahkan dari hukum adat. Hukum ini telah menyatu dan mendarah daging dalam
jiwa kehidupan mereka, karena hukum ini dibuat oleh warisan leluhur yang harus
dipatuhi dan tidak boleh dilanggar.
Keterkaitanya soal
tanah dan konsep agraria, Hak Ulayat atas tanah memiliki pengertian sebagai
tanah kepunyaan bersama yang diyakini sebagai karunia Kekuatan Gaib atau
peninggalan Nenek Moyang kepada kelompok yang merupakan masyarakat Hukum Adat,
sebagai unsur pendukung utama bagi kehidupan dan penghidupan kelompok tersebut
sepanjang masa. Di sinilah tampak adanya sifat religius atau unsur keagamaan dalam hubungan hukum antara para
warga masyarakat Hukum Adat dengan tanah ulayatnya. Pengertian kelompok atau
masyarakat hukum adat juga memiliki makna komunalistik, yakni hak bersama
dimana tanah diusahakan bersama-sama dan dinikmati bersama-sama. Di Lung Melah
dan desa-desa Dayak lain masih bisa dijumpai Bangunan Lumbung Padi yang hanya
satu di setiap desa untuk menyimpan padi milik bersama. Bangunan khas dengan
ukiran Dayak ini menjadi bukti bahwa pernah ada hubungan komunalistik hasil
tanah yang dinikmati bersama-sama.
Fakta yang bisa
diamati dalam kehidupan masyarakat Lung Melah dewasa ini sedikit berbeda dari
banyak teori yang ada. Sekalipun Lung Melah sebagai masyarakat Dayak merasa
komunitasnya masih merupakan komunitas ulayat sehingga Hukum Adat masih harus
dijunjung tinggi, saat ini sifat tanah ulayat mulai mengalami perubahan yang
sangat fundamental. Kepemilikan tanah bukan lagi secara ulayat atau
komunalistik, melainkan sudah dibagi-bagi (kavling) menjadi tanah perseorangan
dengan luasan-luasan tertentu. Sekalipun pembagiannya secara adat dan belum
melalui cadaster ke Badan Pertanahan Nasional
(BPN), tindakan ini telah melemahkan komunalitas, menjadikan tanah sebagai hak
perseorangan dan bukan lagi tanah dengan hak komunal atau bersama. Kondisi ini membawa
Lung Melah pada jembatan revolusi kepemilikan tanah dari ulayat yang komunal
menjadi tanah perseorangan yang individualistis, dan tentunya akan menggeser
keberadaan hukum ulayat/adat.
Kebanyakan daerah yang
masih meyakini hukum ulayat tidak dapat dilepaskan dari penguasaan tanah
Ulayat. Keberadaan hukum adat adalah untuk mengatur pusaka dan penghidupan
ulayat termasuk di dalamnya tanah ulayat, dan eksistensi tanah ulayat adalah
tiang penyangga daripada eksistensi hukum ulayat atau adat. Tanpa tanah ulayat
dan perangkat adat bagaimana mungkin hukum Ulayat atau adat dapat
dipertahankan? Tanah ulayat dilindungi oleh Negara karena sifat komunalistiknya
sehingga tanah Ulayat tidak boleh dipecah-pecah, dipindahtangankan atau
diberikan kepada pihak lain. Terdapat potensi penggeseran kepemilikan lahan
dari komunalistik menuju kepemilikan individualistik. Perubahan kepemilikan
tanah ini secara fundamental akan banyak merubah tatanan dan pola hidup suku Dayak Lung Melah
karena individualitas sangatlah bertolak belakang dari eksistensi Ulayat.
Tanah hutan yang
dibuka PT Subur Abadi Plantations adalah Hutan Negara dan dengan ijin lokasi
perusahaan ini membuka lahan. Undang-undang Pokok Kehutanan yakni Undang-Undang
Nomor 5 Tahun 1967 LNRI 1967-8; TLNRI 2832 menyatakan bahwa semua hutan dalam
wilayah Republik Indonesia termasuk kekayaan alam yang terkandung di dalamnya,
dikuasai oleh Negara. Regulasi ini membuka pertanyaan dan gambling yang besar bagi kita masih adakah hutan ulayat/adat? Bahkan
dalam Penjelasan umum undang-undang ini pasal 2 secara tegas menggunakan
redaksional “Hutan Negara” dan bukan “Hutan Adat”. Ditegaskan lagi oleh Pasal
17 yang menjelaskan bahwa :
“pelaksanaan hak-hak masyarakat adat dan anggota-anggotanya serta
perseorangan untuk mendapatkan manfaat dari hutan baik langsung maupun tidak
langsung yang didasarkan atas suatu peraturan hukum, sepanjang menurut
kenyataanya masih ada, tidak boleh menggangu tercapainya tujuan-tujuan yang
dimaksud dalam undang-undang ini”
Dari pemahaman
inilah PT Subur Abadi Plantatiaons tidak diikat oleh ketentuan apapun untuk
membayar ganti rugi pembukaan lahan. Adapun pemberian Tali Asih, praktek dan
bentuknya tidak diatur secara khusus oleh Undang-undang. Tali Asih diberikan
dalam bentuk apapun yang substansinya adalah ungkapan rasa terimakasih atas
diterimanya perusahaan untuk beroperasi di Lung Melah dan juga kepercayaan yang
sudah diberikan kepada perusahaan untuk mengolah tanah pertiwi masyarakat.
Posisi yang sulit ketika menemukan hukum
Nasional dan Hukum Adat mengalami benturan. Di satu sisi perusahan sebagai
Badan Hukum memiliki kewajiban untuk berdiri di lingkaran hukum positif, di
sisi lain perusahan beroperasi di Lung Melah, dimana langit harus dijunjung
bumi harus dipijak dan Hukum Adat harus dipatuhi. Gambaranya, perusahaan dan
masyarakat adat adalah satu keluarga dan sangat tidak bijak ketika dalam
keluarga kita berdebat dan bertikai soal peraturan pembagian makan di rumah
sendiri, dan pastinya akan sangat melukai perasaan adat. Terdapat titik-titik tertentu
yang memang tidak bisa diambil suatu kata sepakat dan dilebur menjadi satu.
Inilah yang disebut zona yang tidak ada titik temu.
Perusahaan menghadapi dan harus
mematuhi dua ketentuan yang sekalipun berbeda harus sama-sama dijunjung tinggi.
Pengadilan atau litigasi bukanlah sarana terbaik untuk menentukan mana yang
benar dan mana yang salah dalam konteks ini. Di sini tidak dibutuhkan
pembenaran dan sikap menyalahkan karena kedua pandangan hukum ini tidak akan
pernah menemukan kecocockannya. Yang dibutuhkan adalah hubungan kedua pihak
tetap terjalin dengan baik sekalipun memiliki keyakinan yang berbeda. Upaya
yang dipaksakan untuk menentukan siapa yang benar dan siapa yang salah akan
semakin menyakiti kedua belah pihak. Satu-satunya langkah yang harus
dilaksanakan adalah apa yang disebut dengan REKONSILIASI. Upaya membuat masalah
selesai tuntas sekalipun tidak dengan mementukan mana yang dibenarkan dan mana
yang disalahkan. Titik dimana kedua belah pihak menyesal, saling memaafkan dan
berdoa kepada Tuhan bahwa masalah dikubur dan mengharap kedua belah pihak
melupakan masa lalu dan memulai hari yang baru. Dan upaya seperti ini sangat
akrab dalam redaksional maupun keyakinan Adat, inilah Adat yang sekalipun
sering menggunakan redaksional Denda Adat, namun makna terdalamnya bukanlah
untuk menghukum namun memperingatkan dan mencari jalan terbaik.
PERANAN
DEPARTEMEN COMMUNITY DEVELOPMENT DALAM PENYELESAIAN KONFLIK
Departemen Community Development
(CDO) harus mampu menempatkan dirinya sebagai pihak ketiga dalam penyelesaian
perselisihan antara masyarakat dengan perusahaan. Situasi yang sangat sulit
bagi seorang CDO dimana dia adalah karyawan dari perusahaan namun dalam saat
yang bersamaan dia sudah dianggap sebagai bagian dari masyarakat yang dibina
dan diberdayakan, yakni masyarakat yang pada detik itu sedang berkonflik dengan
perusahaan. Dalam setiap aksi demonstrasi dan konflik CDO harus sesegera
mungkin menanggapi keluhan masyarakat karena bagaimanapun masyarakat adalah
bagian dari keberadaan perkebunan dan dari masyarakat tersebut perusahaan
mendapat restu dan ijin untuk beroperasi. Namun, sekalipun demikian CDO sebagai
filter dan divisi yang bertanggung jawab dalam pembangunan masyarakat harus
mampu menjembatani perusahaan dan masyarakat dalam menyelesaikan permasalahan
yang ada. Departemen CDO harus hadir sebagai ujung tombak berkomunikasi dengan
masyarakat sebelum manajemen turun ke lapangan.
Mengingat sulitnya hal itu
dilakukan, masuknya CDO sebagai pihak ketiga yang memediatori penyelesaian
perseteruan menjadi penting dan strategis. Kearifan serta kebijaksanaan
CDO sebagai sang mediator di dalam membangun rasa keadilan di antara
para pihak akan menjadi kunci keberhasilan. Bukan sekedar netral dan bahkan
tidak diperkenankan untuk murni sebagai Netralis, karena netralitas dalam
sebuah pertikaian hanya akan melahirkan status Quo yang artinya tidak
ada penyelesaian dan suatu saat bisa mengakibatkan permasalahan meledak kembali. Pada posisi tersebut seorang CDO harus mampu menggiring kedua belah pihak pada suatu sikap
penyelesaian.
Salah satu fungsi Departemen CDO adalah
Security,
dan kesigapan Tim Satpam harus mampu melindungi asset baik fisik kebun maupun
pribadi staff yang tak lain adalah salah satu asset terpenting yang ada. Ketika
masyarakat menduduki Kantor Besar, Tim Satpam harus mampu mengamankan situsai
dan memberikan fasilitas kepada masyarakat agar maksud dan tuntutan masyarakat
memiliki tempat dan dapat disampaikan dengan cara yang terbaik.
Sembari Tim Satpam mengatasi
permasalahan yang muncul CDO harus mampu memainkan peran sebagai inteligen dan
humas. CDO memperkaya diri dengan informasi-informasi terkini dan dengan
wawasan itu keputusan dapat diambil dengan tepat dan sigap. Dalam situasi
genting, CDO wajib manjadi filter sekaligus peredam konflik bagi kedua belah
pihak, manajemen ataupun masyarakat. Sangat dipahami masyarakat yang berdemonstrasi
tentunya memiliki peningkatan emosi dan kadangkala sangat dekat dengan aksi
kekerasan. Situasi harus dibentuk dengan menghindarkan manajemen dari kontak
langsung sehingga manajemen dapat membangun strategi dan berfikir, sehingga
manajemen dapat menentukan waktu dan suasana yang tepat untuk bertemu dengan
masyarakat.
Aksi demonstrasi masyarakat Lung
Melah di Kantor Besar dapat ditangani dengan sangat baik oleh tim Satpam, dan
ditindaklanjuti dengan kehadiran CDO yang langsung terjun ke masyarakat
keesokan harinya. CDO mengundang seluruh masyarakat untuk hadir di Serapoh
(balai adat) agar dapat secara terbuka menyampaikan tuntutan dan keluhanya. Komunikasi
langsung sangat efektif dilaksanakan untuk menghimpun permasalahan-permasalahan
kongkrit dalam masyarakat. Tanggapan langsung dan dialog terbuka menjadi bukti
bahwa perusahaan tidak mengabaikan permasalahan masyarakat dan siap
menyelesaikannya secara bersama-sama.
Beberapa pertanyaan masyarakat telah
dijawab sehingga mampu menurunkan emosi negatif dan pertikaian antara
masyarakat dengan perusahaan. Di titik inilah kondisi tepat bagi manajemen
kebun untuk bertemu dengan masyarakat. Pada pertemuan dengan masyarakat di Serapoh,
Bapak Ir. Hakim Rosyadi selaku Administratur PT Subur Abadi Plantations dan
Bapak Eko Andrianto selaku Kepala Teknik PT Subur Abadi Plantations turun ke
masyarakat, menyambut baik undangan masyarakat dan bersilaturahmi. Dalam
pertemuan tersebut Administratur dan manajemen kebun menjelaskan dan
mempertegas bahwa apa yang disampaikan oleh CDO di hari sebelumnya adalah
jawaban manajemen. Prakata dari Administratur selaku pimpinan tertinggi kebun
dan manajemen kebun bahwa apa yang sudah dijelaskan oleh CDO merupakan jawaban
manajemen merupakan dukungan yang luar biasa bagi fungsi kehumasan CDO karena bagaimanapun
CDO membutuhkan sebuah legitimasi dari perusahaan untuk mampu menyampaikan jawaban-jawaban
manajemen. CDO merupakan utusan perusahaan yang wajib menyampaikan pandangan
manajemen dengan tegas dan tepat. Dukungan penuh dan koordinasi yang matang
dari manajemen akan mampu digunakan oleh seorang CDO untuk mengambil keputusan
tepat di saat-saat genting.
REKONSILIASI
mendamaikan dan menyatukan
Ketika suatu redaksional Denda Adat
keluar dari ucapan seorang Kepala Adat, dalam keadaan apapun Denda Adat
tersebut harus dipenuhi. Sekalipun putusan dan Hukum Adat memiliki kelemahan
dalam hal legitimasi karena bentuknya yang tidak tertulis, namun perwujudannya
merupakan kearifan lokal yang wajib dihormati dan dijunjung tinggi. PT Subur
Abadi Plantations berkomitmen untuk menghormati dan menjunjung tinggi keputusan
adat dan melakukan pendekatan untuk menyelesaikan konflik Denda Adat dengan
tetap menghargai kemurnian kewenangan Adat untuk memutuskan.
Pasca demonstrasi dan ketidaksepahaman
terjadi antara perusahaan dan masyarakat, keduabelah pihak melakukan beberapa
pendekatan untuk menyelesaikan permasalah yang terjadi. Kepala Adat akhirnya
memutuskan bahwa dalam permasalahan yang dialami antara PT Subur Abadi
Plantations yang sebelumnya berupa Denda Adat diwujudkan berupa acara Sukuran
Adat, dimana dalam acara tersebut disampaikan perdamaian kedua belah pihak dan
doa bersama untuk kelancaran usaha perusahaan.
Salah satu ungkapan Kepala Adat yang
begitu dalam dan selaras dengan upaya Rekonsiliasi yakni:
“Apapun
yang terjadi, perusahaan dan masyarakat telah memiliki hubungan yang baik,
perusahaan telah salah begitu juga masyarakat. Apabila kita terus berusaha
menyalahkan dan mencari-cari kesalahan, kita tidak akan beranjak dari situ dan
kehilangan kesempatan-kesempatan yang saling menguntungkan. Perusahaan telah
meminta maaf dan masyarakat begitu juga, ke depan kita akan saling menjaga
hubungan yang baik dan saling menguntungkan”.
Ungkapan ini merupakan Rekonsiliasi dalam arti sebenarnya. Dari
ungkapan dan kedalaman pemikiran ini ke depan akan tercipta suatu hubungan
harmonis yang kekal antara perusahaan dan masyarakat Adat.
Sukuran Adat dilaksanakan pada tanggal
2 Desember 2012 dan dilakukan melalui dua tahap ritual. Ritual pertama
dilakukan di perbatasan Kebun Kemitraan dan Kebun Inti PT Subur Abadi
Plantations yang dihadiri oleh Kepala Adat beserta seluruh pemangkunya, Kepala
Desa, Tokoh-tokoh masyarakat, dan dari manajemen diwakili oleh Pak Jainudin
(CDAM Wilayah B3 Utara) dan Danang Ari Wibowo (CDO PT SAP). Ritual ini dipimpin
langsung oleh Kepala Adat dengan mengkurbankan seekor babi, seekor ayam dan dua
butir telor ayam yang dimaksudkan untuk mendoakan perdamaian perusahaan dengan
masyarakat, memohon keselamatan karyawan, dan mengusir seluruh pihak-pihak yang
akan mengganggu kelancaran hubungan harmonis kedua belah pihak.
Ritual kedua merupakan perayaan adat
yang dilakukan di Balai Adat Serapoh dan dihadiri oleh Manajemen
PT Subur Abadi Plantations beserta dengan seluruh masyarakat Lung Melah.
Perayaan ini sangat menggambarkan keharmonisan perusahaan dengan masyarakat,
saling berbagi cinderamata, memberikan sambutan yang saling memuji dan mengucap
syukur atas kebersamaan dan kemitraan selama ini. Kesempatan yang sangat
berkesan terjadi ketika Bapak Jainudin (CDAM B3 Utara) dan Bapak Ir. Hakim
Rosyadi (ADM PT SAP) memberikan cinderamata yang secara khusus ditujukan kepada
Sanggar Tari Lingai Jalung Lestari (Sanggar tari kemitraan antara PT Astra Agro
Lestari dengan Masyarakat Lung Melah), dimana Bapak Jainudin mengungkapkan
keseriusan PT Subur Abadi Plantations dalam menjunjung tinggi adat istiadat
Lung Melah, berusaha secara bersama-sama meningkatkan kesenian tradisional Lung
Melah, dan sungguh berbangga dapat ikut berperan serta mengisi rongga-rongga
kerinduan masyarakat dengan kegiatan-kegiatan budaya. Kegiatan ini juga diisi
dengan tarian bersama antara seluruh manajemen PT SAP dengan para penari desa
Lung Melah yang mengundang keceriaan dan mengangkat keakraban kedua belah
pihak.
Kepala Adat memberikan wejangan secara
simbolis melalui suatu kearifan lokal masyarakat Dayak yang dalam filosofi
modern kita kenal dengan REKONSILIASI. Masyarakat Dayak Lung Melah mengenal
tiga benda sakral yang harus ada dalam setiap upacara maupun perayaan. Ketiga
benda ini memiliki nilai filosofis yang sangat tinggi dalam pembangunan
perdamaian dan pembentukan komunitas yang cinta damai. Secara rinci ketiga
benda ini dapat diuraikan sebagai berikut:
1.
Mandau (Senjata tradisional Dayak), Benda ini
memiliki pengertian filosofis sebagai PEMBUKA dan PEMBERANTAS. Saat perusahaan
membuka lahan benda ini menggambarkan niat masyarakat dan perusahaan secara
bersama membuka jalan, memberantas ilalang, dan menyiapkan kayu untuk membangun
bersama. Senjata ini mengawali niat bersama untuk membangun, memberantas
masalah-masalah dan ketidaksepahaman yang ada, menjadi jembatan ketika
perusahaan dan masyarakat menemukan konflik dan menjadi penanda bahwa kerjasama
telah dimulai
2.
Gong (Alat Musik Dayak), Benda ini menjelaskan
bahwa segala keceriaan dan kedukaan harus dibunyikan dan diinformasikan.
Keterbukaan harus dikedepankan sehingga keduabelah pihak merasa satu rumah dan
satu keluarga. Gong selain sebagai alat musik, merupakan benda yang diduduki
ketika dua mempelai menikah dan juga akan digunakan untuk mendudukan kedua
pasang suami istri ketika mereka akan bercerai. Di atas benda ini segala
permasalahan dibicarakan melalui musyawarah dan mufakat dicapai. Ketika Gong
dibalik, dapat dijumpai rongga di dalam nya yang merupakan ruangan bersama
untuk ditinggali. Kedua belah pihak adalah keluarga dalam satu atap dan tidak
boleh saling menyakiti, harus saling menopang dan memberikan pengharapan
3.
Kalong (roncean manik berupa kalung), benda
ini menggambarkan persatuan. Berbagai warna dan bentuk dironce dan disusun
menjadi perhiasan yang cantik. Ketika benang penyatunya putus, manik-manik dan
batu yang dironce akan terhambur dan terpisah, sekalipun dironce kembali tidak
akan seindah penampakan awalnya. Kalong ini menggambarkan bahwa hubungan dan
silaturahmi itu harus dijaga sedemikian rupa. Diperkuat dan jangan sampai
terputus, sekalipun konflik kedua belah pihak terselesaikan tidak akan lagi
seindah keharmonisan yang pernah dibentuk di awal.
Apapun yang telah terjadi dan
sekalipun itu merupakan konflik dan perpecahan, keiklasan untuk memaafkan,
mengubur, merangkul kembali yang terbungkus dalam rekonsiliasi mampu menjawab
penyelesaian yang diharapkan. Kedua belah pihak meyakini dan mengaku bahwa
terdapat suatu kesalahan, namun meyakini bahwa mengungkit-ngungkit kesalahan
tidak akan pernah membuahkan hasil dan makin memunculkan masalah baru. Di titik
tersebut kedua belah pihak saling memaafkan dan menmbuka lembaran baru,
berjanji tidak akan mengungkit masalah yang lama terlepas siapa yang disalahkan
dan siapa yang dibenarkan, kedua belah pihak melupakanya dan merancang
kerjasama baru yang lebih baik di masa depan. Rekonsiliasi mampu menjawab
permasalahan dan menanam benih perdamaian baru, merawatnya dan secara terus
menerus memanen kebaikan yang dihasilkanya.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar